Rabu, 31 Maret 2010

Rumus Rubik Gan

kalo ngerti ya syukur klo ga ngerti ga usa dibaca.
hahahahahahahaha (nyampah)

1
RU2-R2'FRF'U2'-R'FRF' 2
F-RUR'U'-F'-Fw-RUR'U'-F'w 3
R'RwU-Rw'U2-RwU-R'UR2Rw' 4
R'U2x-R'URU'y-R'U'R'UR'F
5
Lw'U2'LUL'ULw 6
RwU2'R'U'RU'Rw' 7
RwU-R'URU2'Rw' 8
Lw'U'-LU'L'U2Lw
9
F'U'F-LF'L'-U-LFL' 10
FUF'-R'FR-U'-R'F'R 11
L'R2BR'BR-B2R'BR'L 12
F-RUR'U'-F'-y-F-RUR'U'-F'
13
LF'L'-U'-LFL'-F'UF 14
R'FR-U-R'F'R-FU'F' 15
L'B'L-R'U'RU-L'BL 16
RBR'-LUL'U'-RB'R'
17
RUR'U-R'FRF'U2-R'FRF' 18
RU2-R2'FRF'-U2'RwR'URU'Rw' 19
MU-RUR'U'Rw-R2'FRF' 20
MU-RUR'U'-Rw2R2'URU'Rw'
21
RU-R'URU'R'UR-U2R' 22
RU2'-R2'U'R2U'R2'-U2R 23
L2wU'R-D2-R'UR-D2R 24
RwUR'U'Rw'FRF'
25
Lw'U'L'U-RU'LUx' 26
L'U'LU'L'U2L 27
RUR'URU2R' 28
RwUR'U'R-Rw'URU'R'
29
B'R'B-L'-B'R2B'-R'B2L 30
BLB'-R-BL2B-LB2R' 31
L'D'w-RDw-LU'L'B'L 32
RDw-L'D'w-R'URBR'
33
RUR'U'-R'FRF' 34
RUR'U'(x)-D'-R'UR-E' 35
RU2-R2'FRF'-RU2R' 36
R'U'RU'R'URU-RB'R'B
37
B'RBR'-U'R'UR 38
LUL'ULU'L'U'-L'BLB' 39
LF'L'U'LUFU'L' 40
R'FRUR'U'F'UR
41
RU'R'U2RU(y)RU'R'U'F' 42
L'ULU2L'U'(y')L'ULUF 43
F'wL'U'LUFw 44
FwRUR'U'F'w
45
FRUR'U'F' 46
RU-RB'R'B-U'R' 47
F'-L'U'LUL'U'LU-F 48
F-RUR'U'RUR'U'-F'
49
LwU'Lw2'ULw2ULw'2U'Lw 50
Rw'URw2U'Rw2'U'R2wURw' 51
F-URU'R'URU'R'-F' 52
R'U'RU'R'-Dw-R'URB
53
Lw'U'- LU'L'ULU'L'U2-Lw 54
RwU-R'URU'R'URU2-Rw' 55
RU2'-R2'U'RU'R'U2'-FRF' 56
F-RUR'U'RF'-RwUR'U'Rw'
57
RUR'U'-Rw-R'URU'Rw' Searah Jarum Jam:
F=Front U=Upper
B=Back L=Left
R=Right (X)w=180° Berlawanan Jarum Jam:
F'=Front U'=Upper
B'=Back L'=Left
R'=Right (X)w=180°

©AzizYusron.com

MASAKAN BUAT ANAK KOST :)

hmmmmmmmmmm
buat anak kost ni yang irit medit dan pelit (lho?????)
hehehehehe
gw punya beberapa resep yang bisa lo coba
bahan bahan terjangkau, bikinnya juga ga terlalu sulit.
monggo di coba...... :)

Sop kentang:
Bahan: 1/4 kg kentang
2 sdm minyak goreng
2 butir telur
2 liter air
4 buah bawang merah
1 sdt irisan daun seledri
garam
penyedap rasa

Cara Membuat:
rebus kentang dengan 2 liter air
setelah lunak hancurkan sampai halus
rebus lagi dengan irisan bawang merah
Goreng telur
tuang ke rebusan kentang+garam+penyedap
Seledri terakhir


taraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
this is it, sop kentang ala anak kos!!!!11

Terapi Jangka Panjang untuk ADHD

Pemberian terapi psikofarmakologi harus terus diberikan sepanjang gejala masih ada dan menyebabkan gangguan. Mengingat terapi digunakan dalam waktu yang cukup panjang, maka pasien dengan ADHD harus melakukan follow up yang teratur untuk evaluasi pengobatan. Evaluasi ini berguna untuk memastikan apakah obat yang diberikan masih efektif, menentukan dosis optimal, dan meyakinkan efek samping yang timbul tidak signifikan secara klinik.

Jika tak satupun dari terapi psikofarmakologi yang memberikan efek memuaskan pada pasien dengan ADHD, maka klinisi harus melakukan review diagnosis secara seksama. Setelah itu mempertimbangkan pemberian terapi perilaku di samping memberi terapi obat alternatif lain. Jika pasien ADHD memperlihatkan respon yang baik terhadap terapi psikofarmakologi dengan memperlihatkan fungsi normal pada akademik, keluarga, fungsi sosial, maka pemberian terapi psikofarmakologi tunggal saja sudah cukup.

Hal yang sangat perlu ditekankan dalam pemberian psikofarmakologi adalah monitoring efek samping. Pasalnya, sebagian besar terapi berlangsung untuk jangka waktu lama. Adapun efek samping yang bisa ditimbulkan akibat penggunaan stimulan adalah penurunan nafsu makan, kehilangan berat badan, insomnia, sakit kepala sebagian besar, tics, dan terkadang kelabilan emosis. Sementara TCA biasanya bisa menimbulkan mulut kering, sedasi, konstipasi, pandangan blur atau kabur, dan takikardi (gejala antikolinergik). Sedangkan antagonis alfa bisa menyebabkan sedasi, pusing, hipotensi, penghentian mendadak bisa menimbulkan rebound hypertension yang berbahaya, depresi sekitar 5%, hiperglikemi, terjaga pada malam hari, mimpi buruk, dan teror di malam hari.


dikutip dari : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=86

Terapi Kombinasi Terbaik untuk ADHD

Tatalaksana ADHD bisa ditempuh dengan tiga cara, yakni terapi psikofarmakologi, terapi perilaku, dan terapi kombinasi. Sebuah studi dengan Multimodal Treatment of ADHD (MTA) menemukan bahwa pengobatan yang paling efektif untuk ADHD adalah tipe kombinasi. Yakni dengan pemberian psikofarmakologi dibarengi dengan terapi perilaku.

Sebenarnya, untuk jangka waktu lama pada terapi psikofarmakologi telah berkembang suatu kontroversi besar. Yaitu penggunaan stimulan untuk mengatasi gejala inti ADHD. Beberapa pakar menentang penggunaan stimulan karena khawatir bisa menimbulkan efek ketagihan (abuse). Namun beberapa studi belakangan malah menunjukkan hal yang berbeda. Selain bisa mengatasi gejala inti ADHD dan menetralkan overaktivitas emosi, ternyata stimulan cukup aman digunakan jika tetap dimonitor. Akhirnya stimulan banyak diresepkan.

Saat ini tersedia beberapa jenis stimulan. Misalnya saja, methylphenidate (MPH) dengan lama kerja singkat, sedang, dan panjang serta dextroamphetamine dengan masa kerja panjang. Dua formulasi yang paling mutakhir adalah campuran garam amphetamine (75% dextroamphetamine dan 25% levoamphetamine). Pemoline, suatu stimulan dengan masa kerja panjang, sekarang sudah jarang digunakan karena efek hepatoksisitas fatal (meskipun jarang).

Pemberian stimulan berespon pada 50-75% kasus. Dan stimulan yang banyak diresepkan dan paling popular adalah MPH. MPH diberikan dalam tiga dosis: rendah 15mg/hari atau 0,3mg/kg/hari, sedang 16-34mg/hari atau 0,5mg/kg/hari, dan tinggi >34mg/hari atau 1mg/kg/hari. Dosis maksimum MPH adalah 60mg/hari. MPH tidak boleh digunakan untuk anak usia di bawah 6 tahun.

Studi terbaru menemukan bahwa ada obat lain yang bisa digunakan untuk ADHD di samping stimulan. Yakni antidepresan trisiklik (imipramin, desipramin), bupropion, dan agonis alfa adrenergik (klonidin). Imipramin diberikan dengan dosis 1mg/kg/hari (maksimum <>


dikutip dari : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=86

ADHD Penyakit Genetik

Ada beberapa faktor yang dipertimbangkan bisa menyebabkan terjadinya ADHD. Di antaranya adalah defisit dari fungsi semisal respon inhibisi, kewaspadaan, dan kerja memori. Berdasarkan hasil studi Twins, diperkirakan 60-94% ADHD diperoleh dari keturunan. Hal ini dibuktikan melalui studi genome scan yang menemukan bahwa penanda (marker) pada kromosom 4,5,6,8,11,16,17 dan DRD4, merupakan kandidat gen untuk ADHD. Sementara faktor non genetik yang bisa menyebabkan ADHD adalah perinatal stres, BBLR, cedera otak, dan merokok selama hamil.

Untuk menegakkan diagnosa ADHD seorang klinisi harus mempelajari riwayat pasien, mencari informasi dari sekolah, melakukan wawancara diagnostik, dan membuat rating scales. Adapun kriteria diagnosa yang digunakan bervariasi. Belum ada standar atau kriteria yang sama untuk ADHD. Namun yang paling banyak digunakan adalah kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV). DSM-IV mendefinisikan 3 subtipe ADHD, yakni kombinasi, predominan inatensi, dan predominan hiperaktif/impulsif. Pengelompokkan ini didasarkan pada pola gejala yang muncul dalam 6 bulan sebelumnya.


dikutip dari : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=86

Kontroversi Seputar Terapi ADHD

Sejak diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Heinrich Hoffman pada 1845, attention deficit hiperactivity disorder (ADHD) kerap mengundang kontroversi di kalangan medis. Dulu, ADHD belum diakui secara resmi sebagai suatu penyakit atau gangguan. Hingga menjelang 1902, Sir George F. Still mempublikasikan satu seri karya yang menjelaskan ADHD secara ilmiah. Dia menerbitkan panduan untuk mahasiswa kedokteran di Royal College of Physicians, Inggris yang menggambarkan suatu grup anak impulsif dengan gangguan prilaku yang bermakna. Menurutnya, ADHD disebabkan oleh disfungsi genetik dan bukan oleh keterbelakangan seorang anak. Sejak itu, banyak paper ilmiah yang dipublikasikan hingga akhirnya ADHD resmi dinyatakan sebagai suatu penyakit .

Kontroversi tak berhenti hanya sampai di situ. Perdebatan pun terus bergulir. Mulai dari kriteria diagnosis, aspek penilaian dan pemilihan serta efektivitas dari pengobatan ADHD. Terakhir juga berkembang kontroversi, apakah penggunaan obat perlu diteruskan hingga dewasa atau tidak?

Kondisi demikian membuat ADHD menjadi "primadona." Apalagi kasus ADHD cukup banyak dijumpai. Diperkirakan 2-3% anak di dunia mengalami ADHD. Di Amerika Serikat, ADHD menimpa sekitar 2 juta anak. Ini berarti dalam suatu kelas dengan 25-30 murid, setidaknya ditemukan seorang anak yang mengalami ADHD. Sementara di Jakarta, prevalensinya sekitar 26,2% (dengan kisaran usia 6-13 tahun). Biasanya, anak laki-laki lebih sering mengalami ADHD ketimbang anak perempuan (interval perbandingan 2,5:1 dan 5:1).

DR.Dr.Dwijo Saputro, SpKJ, pada pertemuan nasional Indonesian Society for Biological Psychiatry, Pharmacological, and Sleep Medicine yang berlangsung di Twin Plaza Hotel, Jakarta, 24-25 Januari 2006 lalu mengatakan, ada tiga karakter utama pasien ADHD. Yaitu inatensi, hiperaktivitas, dan impulsif. Tanda atau ciri tersebut akan mudah dikenali serta tampak nyata pada usia prasekolah dan awal sekolah (7 tahun).

Menurut pria yang aktif di klinik pengembangan anak dan kesulitan belajar Smart-Kid yang beralamat di arteri Pondok Indah ini, seorang anak dengan ADHD susah untuk mengontrolperilakunya atau berkonsentrasi dengan satu hal. ADHD bukanlah suatu gangguan belajar namun gangguan hambatan prilaku.


dikutip dari : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=86

1 Dari 100 Anak Menderita Autis

Kenaikan jumlah angka penderita autis sungguh mencengangkan. Bagaimana tidak, rasio anak yang terkena autis semakin banyak dengan perbandingan 1 dari 100 anak terdiagnosa positif autis.

Berdasarkan laporan berita dari Institute Nasional Kesehatan Mental dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, didapatkan bahwa telah terjadi peningkatan yang cukup besar dalam jumlah anak yang didiagnosis mengalami autis.

Kini ditemukan rata-rata penderita autis adalah 1 dari 100 anak-anak, sedangkan perkiraan sebelumnya adalah 1 dari 150 anak-anak dan dulu orang beranggapan penderita autis adalah 1 dari 500 anak-anak.

Apa yang sebenarnya terjadi? Saat ini ada kesepakatan secara umum bahwa faktor genetik diperkirakan turut menyempurnakan risiko anak-anak autis, faktor lainnya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai penyakit ini sehingga meningkatkan pula diagnosis untuk gangguan spektrum autis (autism spectrum disorders). Tapi ada juga pemicu lain yang belum dapat diidentifikasi, seperti lingkungan, makanan atau faktor keturunan.

Faktor pemicu lainnya tersebut seperti dikutip dari Thedailygreen, Selasa (6/10/2009) adalah lingkungan yang sudah terpapar merkuri atau logam berat lainnya, air yang terkontaminasi, pestisida atau juga karena pengguaan antibiotik.

Segala macam limbah beracun yang ada di lingkungan diduga sebagai penyebab yang potensial. Dengan perkembangan penelitian termasuk penelitian yang menonjol mengenai kesehatan anak-anak, ada salah satu penyebab yang sudah tidak dipercaya lagi yaitu penggunaan pengawet vaksin thimerosal yang diduga menyebabkan anak autis. Kini pengawet tersebut sudah tidak digunakan dan tidak ada bukti yang menunjukkan thimerosal menyebabkan anak autis.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Anak yang menderita autis jika kepalanya diperiksa dengan menggunakan CT Scan semuanya akan terlihat normal-normal saja. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat, dan sampai saat ini belum diketahui apa yang membuatnya terhambat.

Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Tapi orangtua sebaiknya secara bijaksana mengurangi paparan bahan kimia beracun selama masa kehamilan dan masa perkembangan anak-anak.

10 Jenis Terapi Autisme (part 3)

Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.

Terapi Perilaku.

Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya,

Terapi Perkembangan

Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.

Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode …………. Dan PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.


Terapi Biomedik

Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).


dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/terapi-autisme/10-jenis-terapi-autisme

10 Jenis Terapi Autisme (part 2)

Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar.

Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.

Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.

bersambung. . . .


dikutip dari http://www.autis.info/index.php/terapi-autisme/10-jenis-terapi-autisme

10 Jenis Terapi Autisme (part 1)

Akhir-akhir ini bermunculan berbagai cara / obat / suplemen yang ditawarkan dengan iming-iming bisa menyembuhkan autisme. Kadang-kadang secara gencar dipromosikan oleh si penjual, ada pula cara-cara mengiklankan diri di televisi / radio / tulisan-tulisan.
Para orang tua harus hati-hati dan jangan sembarangan membiarkan anaknya sebagai kelinci percobaan. Sayangnya masih banyak yang terkecoh , dan setelah mengeluarkan banyak uang menjadi kecewa oleh karena hasil yang diharapkan tidak tercapai.
Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar-benar diakui oleh para professional dan memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.

Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.

Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.

Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.

bersambung . . . .


dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/terapi-autisme/10-jenis-terapi-autisme


Hujan dan Autisme Ada Kaitannya?

PENINGKATAN curah hujan diduga memiliki kaitan dengan perkembangan kasus autisme, demikian hasil penelitian yang dimuat Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine.

Teori autisme curah hujan yang diungkap ilmuwan dari Cornell University New York ini dilandasi kajian data kesehatan anak serta cuaca di tiga negara bagian Amerika Serikat.


Dalam penelitiannya, para ahli memperhitungkan rata-rata curah hujan tahunan di California, Oregon dan negara bagian Washington antara 1987 dan 1999, dan kemudian meneliti angka kejadian atau prevalensi kasus austisme dalam pertumbuhan anak selama masa itu.


Hasil kajian menunjukkan, angka austisme lebih tinggi di kalangan anak yang tinggal di negara bagian yang menerima curah hujan lebih tinggi selama tiga tahun pertama mereka. Rata-rata kenaikan kasus autisme tampak meningkat dari satu kasus di antara 2.500 anak menjadi satu di antara 150 anak.


Peneliti berpendapat peningkatan tersebut juga tidak terlepas dari semakin membaiknya kemampuan para dokter mengenali penyakit tersebut.


"Hasil riset kami mengindikasikan adanya pemicu yang berkaitan dengan curah hujan, " ungkap," Michael Waldman, PhD, pimpinan riset dari Institute for the Advancement of Economics, Cornell University, New York

"Saya percaya bahwa ini bukan sekedar curah hujan. Menurut saya, jika ini benar-benar sebuah faktor pemicu, saya kira ini ada kaitannya dengan aktivitas dalam ruangan," ujarnya.


Dengan lebih banyak aktivitas di dalam ruangan, kata peneliti, anak-anak akan mudah terpapar zat kimia dari produk-produk pembersih, terjebak dalam kebiasaan menonton TV dan risiko kekurangan vitamin D akibat terlalu minimnya sinar matahari.


"Karena tidak adanya bukti klinis dari pencetus lingkungan dari autism yang berkaitan dengan curah hujan, hasil penelitian ini tentu masih sementara.. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk melihat apakah kaitan tersebut memang nyata.," kata penelitia dalam kesimpulannya.


dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/158-hujan-dan-autisme-ada-kaitannya-

ADHD, Kenali Gejalanya sejak Dini

ADHD merupakan suatu gangguan perilaku yang ditandai dengan kurangnya perhatian(inattentiveness), aktivitas berlebihan (overactivity) dan perilaku impulsif (impulsivity) yang tidak sesuai dengan umumnya.

Dr dr Dwidjo Saputro SpKJ (K) mengatakan, ADHD merupakan kelainan psikiatrik dan perilaku yang paling sering ditemukan pada anak. ADHD dapat berlanjut sampai masa remaja, bahkan dewasa. Pada anak usia sekolah, ADHD berupa gangguan akademik dan interaksi sosial dengan teman. Sementara pada anak dan remaja dan dewasa juga menimbulkan masalah yang serius.

Kurangnya perhatian adalah salah satu gejala ADHD. Biasanya anak selalu gagal memberi perhatian yang cukup terhadap detail. Atau anak selalu membuat kesalahan karena ceroboh saat mengerjakan pekerjaan sekolah, bekerja atau aktivitas lain. Sering sulit mempertahankan pemusatan perhatian saat bermain atau bekerja. Sering seperti tidak mendengarkan bila diajak bicara. Dan atau pelupa dalam aktivitas sehari-hari.

Gejala kedua yang harus diwaspadai adalah hiperaktivitas yang menetap selama 6 bulan atau lebih dengan derajat berat dan tidak sesuai dengan umur perkembangan. Gejala hiperaktivitas itu di antaranya anak sering bermain jari atau tidak dapat duduk diam. Ia sering kali meninggalkan kursi di sekolah atau situasi lain yang memerlukan duduk di kursi. Anak juga sering lari dan memanjat berlebihan di situasi yang tidak tepat, selalu bergerak seperti didorong motor.


Sedangkan pada gejala implusivitas, misalnya sering menjawab sebelum pertanyaan selesai ditanyakan, sering sulit menunggu giliran, dan sering menginterupsi atau mengganggu anak lain, misalnya menyela suatu percakapan.

"Anak ADHD sering dianggap anak nakal, malas, ceroboh, dan lain-lain. Padahal terapi yang tepat akan menghilangkan gejala pada anak ADH," kata ahli kejiwaan yang juga pendiri dari Smart Kids Clinic-klinik Perkembangan Anak dan Kesulitan Belajar ini. Biasanya gejala hiperaktif-impulsif mulai terlihat sebelum umur 7 tahun. Gejala terjadi di dua situasi berbeda atau lebih, misal di sekolah dan di rumah.

Selain itu gejala bukan merupakan bagian gangguan perkembangan pervasif (autisme), schizophrenia, atau gangguan jiwa berat lain, dan bukan disebabkan gangguan mood, kecemasan atau ansietas, gangguan disosiasi atau gangguan kepribadian. "Orang tua harus hati-hati dalam menentukan apakah anak ADHD atau tidak," ucap dokter yang kemudian mengambil spesialisasi di FKUI itu.

Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan kombinasi keterangan mengenai riwayat penyakit, pemeriksaan medis, dan observasi terhadap perilaku anak. Keterangan ini sebaiknya diperoleh dari orang tua, guru, dan anak sendiri.

Observasi bisa dilakukan pada saat anak melakukan pekerjaan terstruktur di kelas, atau saat anak sedang bermain bebas bersama anak lain. Walaupun ADHD seharusnya muncul di setiap situasi, gejala mungkin tidak jelas bila penderita sedang melakukan aktivitas yang disukainya, sedang mendapat perhatian khusus atau berada dalam situasi yang memberi penghargaan pada tingkah laku yang normal. Dengan demikian, pengawasan selintas di kamar praktik sering gagal untuk menentukan ADHD.

Sementara dokter yang juga merupakan pakar autis, Dr Hardiono Pusponegoro SpA (K) menuturkan bahwa sebenarnya jumlah penderita penyakit ini tidak meningkat. "Penyakit yang sering disertai dengan gangguan psikiatri lain ini bukan meningkat, tetapi semakin banyak orang yang tahu tentang penyakit ini," ucap dokter dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tersebut.

Bila dikelola dengan baik, ADHD bisa dicegah. Namun, bila tidak ditangani secara dini, kasus ADHD dapat menjadi pemicu pengguna awal minuman beralkohol, rokok, dan narkoba pada usia muda.


dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/159-adhd-kenali-gejalanya-sejak-dini

Terapi Luar untuk Penyandang Autisme

Pada kesempatan terpisah, psikolog Tri Gunadi dari Pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak Yayasan Medical Excercise Therapy (Yamet) mengungkapkan penyandang autisme juga memerlukan terapi luar. Meliputi, terapi wicara, perilaku, okupasi, dan terapi integrasi sensori.

"Terapi sensori integrasi menekankan pada kemampuan sensorik, adaptasi, dan regulasi diri untuk memperbaiki emosi dan kontrol diri," ujar Tri di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sedang terapi perilaku bertujuan memperbaiki perilaku, kontak mata, pemahaman instruksi, menanamkan konsep, dan inisiasi untuk bicara. Sementara itu, terapi okupasi bertujuan meningkatkan atensi, konsentrasi, kemampuan adaptasi, kemadirian, dan persiapan motorik halus.

"Selanjutnya terapi wicara untuk membantu kemampuan berkomunikasi," terang Tri.

Tri menegaskan orang tua penyandang autisme harus memiliki pola asuh yang jelas, tegas, dan konsisten.

Melly menambahkan jumlah penyandang autisme terus meningkat di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sayangnya sampai saat ini Indonesia belum pernah melakukan survei.

"Penyandang autisme tersebar dari Sabang sampai Merauke, sedangkan jumlah dokter yang mempelajari autisme sangat sedikit dan terbatas di kota-kota besar."

Terapi autisme membutuhkan biaya yang sangat besar, mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah."Sampai saat ini, bantuan dari pemerintah untuk penanggulangan autisme sama sekali belum ada," kata Melly.

dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/211-terapi-komprehensif-autisme

Terapi Komprehensif Autisme

BAGI kalangan pemerhati autisme nama Oscar Yura Dompas tentu tidak asing lagi. Oscar adalah penyandang autisme yang bisa mencapai pendidikan tinggi. Pada 2007, ia menyandang gelar sarjana pendidikan yang diraihnya dari Universitas Atmajaya.

Pencapaian tersebut hanyalah satu dari banyak kisah sukses penyandang autisme. Banyak pihak membuktikan penyandang autisme juga bisa berprestasi."Dengan penanganan yang tepat, gejala-gejala autisme dapat diminimalkan dan potensi penyandangnya dapat diminimalkan," ujar Ketua Yayasan Autisme Indonesia dr Melly Budhiman SpKJ di Jakarta, beberapa waktu lalu.


Menurut Melly, ada beberapa terapi yang perlu diterapkan pada penyandang autisme. Meliputi terapi dari dalam dan luar. Salah satu terapi dari dalam adalah terapi biomediak. Tujuan terapi itu adalah mencari faktor gangguan dalam tubuh anak autis yang bisa mengganggu fugsi otaknya. Terapi ini dijalankan dengan analisis laboratorium terhadap darah, rambut, urine, dan feses. Juga, pemeriksaan kolonoskopi bila ada indikasi.

"Dari penelitian, makin banyak ditemukan adanya gangguan biomedis pada anak-anak autis yang menyebabkan gangguan pada fungsi otaknya. Seperti, morfin yang berasal dari susu sapi (casomorphin) dan dari gandum (gluteomorphin), adanya logam beracun seperti merkuri, timbal hitam, dan arsenik," jelas melly.

Selain itu, penelitian menunjukkan penyandang autisme kerap kali memiliki pencernaan yang buruk, metabolisme yang kacau, dan alergi terhadap banyak jenis bahan makanan. Banyak pula yang mengalami peredaran darah dan oksigenasi di otak kurang bagus.

Analasisi yang digunakan dalam terapi biomedis berguna untuk mengetahui faktor gangguan mana saja yang terdapat dalam tubuh si anak. Bila sudah ditemukan, faktor gangguan tersebut harus dihilangkan atau diminimalkan.

Sebagai contoh, bila hasil analisis menyatakan anak alergi susu, pemberian susu harus disetop. Demikian juga bila hasil analisi menyatakan adanya logam berat dalam tubuh si anak maka harus dilakukan upaya menghilangkannya. Dengan perbaikan tersebut, diharapkan fungsi otak akan membaik dan gejala autisme dapat ditekan.

Sayangnya, tidak semua analisis dalam terapi biomedis bisa dilakukan di di Indonesia. Beberapa analisis harus dilakukan di luar negeri. Selain terapi biomedis, ada pula terapi oksigen hiperbarik yang bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi otak penyandang autisme.

dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/211-terapi-komprehensif-autisme

Apa itu Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.
Penyebab autisme
adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.

Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.

Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.

Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.

Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.

Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).

Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).

Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1


dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/tentang-autisme/apa-itu-autisme

Memanusiakan Anak Autistik

Penanganan anak autis memang cukup berat, karena membutuhkan strategi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita autis tidak dapat mengendalikan emosinya. Ia hanya tertarik kepada aktivitas mental dirinya sendiri.

Kelainan ini juga menyebabkan perkembangan anak penyandang autis tertinggal jauh dibanding anak normal seusianya. Bahkan tidak mustahil anak autis akan menjadi abnormal selamanya, bila tidak mendapat penanganan, pendidikan, dan perlakuan yang serius.

Ketua Yayasan Autisma Indonesia Melly Budhiman mengatakan, selama ini pemerintah belum memberi perhatian kepada anak-anak yang terkena autis. Karena itu, para orangtua harus berjuang sendiri mengembangkan anaknya.

Sayangnya, terapi yang harus dijalani anak-anak autis ini harus dijalankan dengan intensif. Biayanya pun mahal, sehingga sering tidak terjangkau oleh masyarakat bawah. “Tidak jarang para orangtua habis-habisan menjual hartanya demi kesembuhan anaknya,” ujarnya.

Ketidakpedulian pemerintah terlihat dari belum jelasnya jumlah penyandang autis di Indonesia. Apalagi, jumlah mereka belum tertangani, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Lalu bagaimana mau menangani, bila data penderitanya pun masih belum diketahui?

Penelitian menunjukkan jumlah penderita autisme meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1987, ratio penderita autisme 1:5.000. Ini berarti, di antara 5.000 anak, ada satu anak autistik.

Angka ini meningkat tajam, menjadi 1:500 pada 1997, kemudian jadi 1:150 pada 2000. Para ahli memperkirakan pada 2010 mendatang penderita autis akan mencapai 60% dari keseluruhan populasi di dunia. Sekitar 80%, gejala autis terdapat pada anak laki-laki.

Bila dilihat per negara, di Amerika autisme dialami dengan perbandingan 1:150 anak. Angka di Inggris juga menyentak, 1: 100 anak. Di negara-negara Asia, angka kejadian autisme meningkat pesat. Begitu juga di Afrika. Melihat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2 April sebagai World Autism Day.

Autis berasal dari kata auto yang berarti 'berdiri sendiri'. Istilah autis pertama kali diperkenalkan Leo Kramer pada 1943. Ketika itu ia mendapati gejala aneh pada seorang anak yang terlihat acuh terhadap lingkungan dan cenderung menyendiri. Seakan ia hidup dalam dunia yang berbeda. Kramer kemudian mempelajarinya. Itu sebabnya, autis juga dikenal dengan Syndrom Kramer.

Ada tiga karakter yang menunjukkan seseorang menderita autis. Pertama, social interaction, yaitu kesulitan dalam melakukan hubungan sosial.

Kedua, social communication, yaitu kesulitan dengan kemampuan komuniskasi secara verbal dan nonverbal. Sebagai contoh, sang anak tidak mengetahui arti gerak isyarat, ekspresi wajah, ataupun penekanan suara.

Karakter yang terakhir adalah imagination, yaitu kesulitan untuk mengembangkan permainan dan imajinasinya.

Julianita Gunawan, seorang peneliti autis, mengatakan ciri-ciri gejala autisme nampak dari gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Secara umum, anak autis dikatakan sembuh, bila mampu hidup mandiri, berperilaku normal, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lancar, serta memiliki pengetahuan akademis yang sesuai anak seusianya.

Gejala pada anak autis, biasanya sudah tampak sebelum anak berumur tiga tahun. Cirinya, tidak ada kontak mata dan tidak menunjukkan tanggapan terhadap lingkungan.

Pada sebagian anak, gejalanya dapat diketahui sejak anak lahir, disebut dengan Autistik Infantil. Ibu yang memperhatikan perkembangan anaknya, dapat mengetahui perbedaan si anak saat berusia satu tahun dari tatapan matanya. Sedangkan, sebelum usia tiga tahun, gejalanya dapat dilihat dari kurangnya interaksi sosial, cara berbicara, cara main yang monoton.

Penanganan kelainan ini diakui banyak pihak sangatlah sulit. Harus dibentuk penanganan menyeluruh yang terdiri atas orangtua, guru, terapis, dan keluarga. Semua ini harus diarahkan untuk membangun kemampuan anak bersosialisasi dan berbicara.

Penanganan oleh institusi profesional akan sangat membantu. Selain demi kemajuan penderita, konseling institusi ini akan dibutuhkan pihak keluarga untuk mendapatkan informasi, sekaligus menghilangkan perasaan bersalah atau merasa masalah ini adalah aib yang harus ditutupi.

Melalui Hari Autisme Internasional, diharapkan pemerintah dapat berperan serta dalam mensosialisasikan pengetahuan dan mempermudah akses informasi tentang autis kepada masayarakat.

Karena dengan intervensi dini yang tepat dan optimal, seorang anak penyandang autisme dapat pulih dan hidup normal di tengah masyarakat.

dikutip dari : http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/110-memanusiakan-anak-autistik-

Masalah Bau Kaki

Uh, malunya ketika harus membuka sepatu saat memasuki rumah orang, dan tercium bau kaki Anda. Kaki yang bau biasanya disebabkan oleh keringat yang mengendap pada kaki, dan bercampur bakteri. Kurangi bakteri pada sepatu dengan sering mencuci bagian dalamnya. Anda juga bisa menambahkan bantalan khusus untuk menyerap keringat yang sudah banyak dijual di toko-toko kesehatan. Belum berhasil juga? Coba tips berikut.

Siapkan cuka dan air, dengan perbandingan 1:2, tuang ke dalam ember agar cukup untuk merendam kaki Anda. Rendam kaki Anda setiap malam untuk mengurangi bakteri penyebab bau yang ada di kaki. Atau rendam kaki Anda dalam satu ember air teh hitam dingin setiap hari. Tanin pada teh membunuh bakteri dan menutup pori-pori pada kaki agar kaki kering lebih lama. Bakteri hidup dan berkembang biak di daerah yang lembab. Anda akan melihat hasilnya setelah melakukan ritual ini beberapa hari hingga 1 minggu.

Jangan melakukan tips ini jika ada luka terbuka pada kaki. :)

Radiasi Wi-Fi Membuat Anak AUTISME!!!!

Hey hati hati ni yang suka pake Wi-FI.
di baca dulu berita ini...


Radiasi Wi-Fi Bikin Anak Jadi Autis?

Fino Yurio Kristo - detikinet

Wifi Zone London - Manfaat Wi-Fi (wireless fidelity) memang besar terutama untuk lalu lintas data. Namun bagaimana jika gara-gara Wi-Fi, penyakit autis yang menyerang otak bisa melanda?

Sinyal Wi-Fi disinyalir bisa mempercepat perkembangan penyakit autis pada anak-anak. Demikian diungkapkan dalam sebuah studi yang dibesut oleh lembaga Australasian Journal of Clinical Enviromental Medicine. Studi ini mengungkapkan hubungan antara teknologi wireless dengan autisme. Mereka melakukannya dengan mengadakan berbagai tes terhadap anak-anak autis pada tahun 2005 dan 2006.

"Radiasi elektromagnetis dari Wi-Fi kelihatannya menjebak unsur tertentu dalam otak dan menyebabkan gejala autisme pada anak makin meningkat," ungkap Dr. George Carlo, salah satu pembesut studi ini seperti dikutip detikINET dari EeTimes, Kamis (29/11/2007).

Sebelumnya, Dr George Carlo juga pernah meneliti bahwa penggunaan ponsel juga berpengaruh terhadap meningkatnya angka anak yang menderita autis. Gejala ini disebutnya mewabah di seluruh dunia. ( http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/111-radiasi-wi-fi-bikin-anak-jadi-autis)


jadi pilih mana internetan gratisan tapi bikin autis, apa sewa komputer diwarnet yang lebih bikin sehat tapi bikin duit tiris???
hahahahaha dipilih aja ya gann...

Diet Sehat

Memiliki tubuh yang langsing, sehat dan bugar merupakan idaman setiap kaum perempuan tetapi sayangnya tidak semua bisa memiliki tubuh ideal tersebut. Bahkan banyak perempuan yang cenderung melakukan diet tanpa memikirkan kesehatan mereka. Memang tidak ada larangan tetapi anda jangan sampai melupakan zat besi karena zat tersebut sangat penting untuk metabolisme tubuh khususnya kaum perempuan.

Zat besi dalam darah yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh dan sangat dibutuhkan bagi kaum perempuan terutama saat datang bulan dan hamil. Seorang perempuan usia 19 hingga 54 tahun membutuhkan asupan zat besi sekitar 12 hingga 16 miligram zat besi sedangkan pada perempuan hamil diwajibkan mengkonsumsi 10 hingga 20 miligram zat besi. Untuk perempuan usia di atas 54 tahun sebaiknya mengkonsumsi 5 hingga 7 miligram zat besi setiap harinya. Begitu pentingnya zat besi, jangan pernah abaikan unsur gizi ini dalam diet anda.

Agar diet anda tetap berjalan tanpa harus meninggalkan unsur zat gizi di dalamnya, ada baiknya anda simak trik berikut ini untuk mempertimbangkan petunjuk diet kaya zat besi dalam makanan anda.

Makan Kentang Plus Kulitnya. Mungkin tanpa anda sadari, kulit kentang yang selama ini anda abaikan ternyata banyak mengandung zat besi dibandingkan daging kentangnya. Karena tingginya kadar zat besi ini cobalah anda selalu menyertakan kentang bersama kulitnya dalam olahan masakan anda.

Hindari Teh. Selain air mineral, teh kerap menjadi pilihan saat anda makan. Jika ini sering anda lakukan, cobalah mulai mengurangi kebiasaan tersebut karena minum teh saat dan setelah makan sangat tidak dianjurkan karena kandungan tannic acid yang terkandung di dalam teh sehingga bisa menghambat penyerapan zat besi dalam makanan yang anda konsumsi.

Pilihlah Roti Gandum. Roti gandum atau yang lebih dikenal dengan sebutan whole wheat bread memang selalu jadi andalan pelaku diet. Karena roti gandum mengandung serat tinggi, anti-oksidan, fitoestrogen (yang baik untuk mencegah penyakit jantung dan kanker), vitamin, mineral dan juga zat besi. Selain itu, roti gandum juga memiliki cita rasa yang lebih khas daripada roti putih (roti biasa).

Jangan Jauhi Daging. Meski anda sedang berdiet bukan berarti anda menghindari daging karena anda harus tetap mengkonsumsi daging karena banyak mengandung zat besi. Seperti daging sapi, ayam dan ikan. Begitu juga di dalam jeroan seperti hati, jantung, dan ginjal menyimpan segudang zat besi yang dibutuhkan tubuh anda, asal anda tahu porsinya (jangan berlebihan).

Kacang-Kacangan. Mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kacang polong, kedelai dan buncis mengandung cukup banyak zat besi, selain tinggi protein. Dalam 100 gram kacang mengandung protein antara 8-17%, zat besi (1-5 mg) dan kalsium (14-102 mg).

Bayam. Perbanyaklah mengkonsumsi bayam karena memang mengandung zat besi dalam jumlah yang sangat tinggi. Jadi mulailah makan makanan yang berserat dalam menu diet anda.

Hindari Cemilan. Mungkin sulit jika harus menghentikan kebiasaan satu ini karena memang keisengan anda saat mengalami kerjaan yang menumpuk. Jika anda tidak bisa menahan diri, mungkin anda bisa mengganti cemilan anda dengan makan tahu. Karena dalam setiap 100 gram tahu, mengandung 2,5 miligram zat besi.

Buah. Mengkonsumsi buah yang mengandung vitamin C memang baik sekali tetapi jika anda juga harus mengkonsumsi buah yang mengandung zat besi. Seperti buah prune banyak mengandung zat besi dan vitamin C daripada apel dan pepaya. Dalam segelas jus prune terdapat 3 miligram zat besi.

Tiram. Jika selama ini tiram lebih dikenal sebagai makanan pendorong gairah seksual, ada baiknya anda mulai memasukkan tiram dalam menu mingguan anda karena tiram mengandung 4,7 miligram zat besi per gramnya.

Pilih-pilih produk. Apa pun makanan yang anda konsumsi sebaiknya baca ingredient-nya secara teliti. Anda jangan mudah tergiur dengan bentuk kemasannya, harga yang murah dan bermerk. Lebih baik anda bandingkan setiap merk dan pilih yang kandungan zat besinya paling tinggi.


dikutip dari : http://www.resep.web.id/tips/ber-diet-yang-sehat-yuk.htm

Environmental factors of ADHD


In utero complications can lead to a variety of neurodevelopmental complications.


Twin studies suggest 9% to 20% ADHD symptoms may be due to nonshared environmental (nongenetic) factors.

Environmental factors implicated include in utero exposure to alcohol, maternal smoking and environmental exposure to lead in very early life.The relation of maternal smoking to ADHD could be due to nicotine causing Intrauterine hypoxia. It could also be that women with ADHD are more likely to smoke and therefore, due to the strong genetic component of ADHD, are more likely to have children with ADHD. Complications during pregnancy and birth—including premature birth—might also play a role. ADHD patients have been observed to have higher than average rates of head injuries; however, current evidence does not indicate that head injuries are the cause of ADHD in the patients observed. Infections during pregnancy, at birth, and in early childhood are linked to an increased risk of developing ADHD. These include various viruses (measles, varicella, rubella, enterovirus 71) and streptococcal bacterial infection.

dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Attention-deficit_hyperactivity_disorder

masak lagiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii


hayo ibu ibu mbak mbak yang anak kos..hahaha...
kita bikin brownies yuuukkkk...

Bahan-Bahan :
175 gram dark cooking chocolate, dipotong-potong
100 gram margarin
3 butir telur
250 gram gula pasir
1/4 sendok teh garam
200 gram tepung terigu
20 gram cokelat bubuk
1/4 sendok teh baking powder

Cara Mengolah :

1. Tim dark cooking chocolate dan margarin, sisihkan.
2. Kocok telur dan gula hingga kental.
3. Masukkan tepung terigu, cokelat, dan baking powder sambil diayak dan diaduk rata.
4. Tuang adonan ke dalam loyang brownies 11 x 22 cm yang dioles margarin dan dialas kertas roti.
5. Oven selama 1 jam dengan suhu 160 derajat Celsius.



uda jadi beloooooooom????
nyum nyum pasti enak..
selamat mencoba.............hoho
*jangjengjong

sekali kali coba masak :)

sekali kali naro resep di sini ga papa kali yeeeeeeeeeeeeee.
dari pada serius bikin tugasss sters kali..
lama lama gw yang mesti ke psikolog.hahahaha

hayooooooooooooooo pada tau ga Spaghetti Carbonara????
hmmmmmmmmmm nyummmi
gw suka banget niiii

gw kasih deh resepnya..hahaha

Bahan :
air untuk merebus
1 sdt garam
1 pak spaghetti (± 450 gr)
2 sdm minyak zaitun/minyak sayur biasa, untuk merebus dan menumis
150 gr bawang bombay, cincang
2 siung bawang putih, cincang
150 gr beef bacon/ smoked beef, iris-iris keci
2 sdm margarine
150 gr jamur kancing, iris tipis
100 gr keju parmesan/cheddar parut

saus :
250 ml krim kental
50 ml susu cair
3 butir telur, kocok
125 gr keju parmesan/cheddar parut
1 sdt merica bubuk

Cara membuat:
1. Masak air dalam panci, bubuhkan garam. Setelah mendidih, masukkan spaghetti dan tambahkan 1 sdm minyak ke dalamnya. Masak 10-12 menit atau sesuai dengan petunjuk yang tertulis di kemasannya. Setelah matang, angkat dan tiriskan.
2. Panaskan 1 sdm minyak dalam wajan, tumis bawang bombai dan bawang putih sampai harum. Masukkan daging iris tadi, masak hingga daging agak kering, angkat. Sisihkan.
3. Panaskan margarine dalam wajan, tumis jamur 3-4 menit, masukkan tumisan daging serta spaghetti, aduk rata.
4. Tuangkan campuran saus ke dalam wajan spaghetti, kecilkan api. Aduk cepat hingga semua bahan tercampur rata dan semua bahan cukup matang, angkat. Pindahkan spaghetti ke atas piring saji. Taburi keju part di atasnya. Hidangkan selagi panas.

gimana??? mantab ya?????
silahkan mencoba...........! :)

Etiology Of ADHD

The etiology of ADHD is unclear and there are various factors that may contribute to the ADHD, pre-natal and peri-natal complications, genetic Mendelian inheritance and[33][34]epigenetic inheritance. Research on children with ADHD has shown a general reduction of brain volume, but with a proportionally greater reduction in the volume of the left-sided prefrontal cortex. These findings suggest that the core ADHD features of inattention, hyperactivity, and impulsivity may reflect frontal lobe dysfunction, but other brain regions particularly the cerebellum have also been implicated. Neuroimaging studies in ADHD have not always given consistent results and as of 2008 are only used for research not diagnostic purposes.A review of published studies involving neuroimaging, neuropsychological genetics, and neurochemistry found evidence to suggest that four connected frontostriatal regions play a role in the pathophysiology of ADHD: The lateral prefrontal cortex, dorsal anterior cingulate cortex, caudate, and putamen.

Neuroimaging studies conducted by the National Institute of Mental Health showed a delay in subjects with ADHD in "attaining peak thickness throughout most of the cerebrum: The delay was most prominent in prefrontal regions important for control of cognitive processes including attention and motor planning". In contrast, the motor cortex in the ADHD patients was seen to mature faster than normal, suggesting that both slower development of behavioral control and advanced motor development might be required for the fidgetiness that characterizes ADHD.

Maturation of the brain, as reflected in the age at which a cortex area attains peak thickness, in ADHD (above) and normal development (below). Lighter areas are thinner, darker areas thicker. Light blue in the ADHD sequence corresponds to the same thickness as light purple in the normal development sequence. The darkest areas in the lower part of the brain, which are not associated with ADHD, had either already peaked in thickness by the start of the study, or, for statistical reasons, were not amenable to defining an age of peak cortex thickness. Source: NIMH Child Psychiatry Branch

Stimulant medication may itself affect growth factors of the central nervous system.[42]

The same laboratory had previously found involvement of the "7-repeat" variant of the dopamine D4 receptor gene, which accounts for about 30 percent of the genetic risk for ADHD, in unusual thinness of the cortex of the right side of the brain; however, in contrast to other variants of the gene found in ADHD patients, the region normalized in thickness during the teen years in these children, coinciding with clinical improvement.

Additionally, SPECT scans found people with ADHD to have reduced blood circulation (indicating low neural activity), and a significantly higher concentration of dopamine transporters in the striatum which is in charge of planning ahead.A study by the U.S. Department of Energy’s Brookhaven National Laboratory in collaboration with Mount Sinai School of Medicine in New York suggest that it is not the dopamine transporter levels that indicate ADHD, but the brain's ability to produce dopamine itself. In support of this notion, plasma homovanillic acid, an index of dopamine levels, was found to be inversely related not only to childhood ADHD symptoms in adult psychiatric patients, but to "childhood learning problems" in healthy subjects as well. One interpretation of dopamine pathway tracers is that the biochemical "reward" mechanism works for those with ADHD only when the task performed is inherently motivating; low levels of dopamine raise the threshold at which someone can maintain focus on a task which is otherwise boring.

A 1990 PET scan study by Alan J. Zametkin et al. found that global cerebral glucose metabolism was 8% lower in medication-naive adults who had been hyperactive since childhood. Further studies found that chronic stimulant treatment had little effect on global glucose metabolism, a 1993 study in girls failed to find a decreased global glucose metabolism, but found significant differences in glucose metabolism in 6 specific regions of the brains of ADHD girls as compared to control subjects. The study also found that differences in one specific region of the frontal lobe were statistically correlated with symptom severity. A further study in 1997 also failed to find global differences in glucose metabolism, but similarly found differences in glucose normalization in specific regions of the brain. The 1997 study also noted that their findings were somewhat different than those in the 1993 study, and concluded that sexual maturation may have played a role in this discrepancy. The significance of the research by Zametkin has not been determined and neither his group nor any other has been able to replicate the 1990 results.

dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Attention-deficit_hyperactivity_disorder

Pengobatan Bagi Penderita ADHD

Terapi yang diberikan untuk tatalaksana pasien ADHD harus dilaksanakan secara menyeluruh, dimulai dari Edukasi dengan keluarga, terapi perilaku hingga penatalaksanaan dengan obat-obatan farmasi. Beberapa terapi yang dapat diberikan adalah
  • Terapi Obat-obatan

Terapi penunjang terhadap impuls-impuls hiperaktif dan tidak terkendelai, biasanya digunakan antidepresan seperti Ritalin, Dexedrine, desoxyn, adderal, cylert,buspar, clonidine

  • Terapi nutrisi dan diet

Keseimbangan diet karbohidrat protrein

  • Terapi biomedis

Suplemen nutrisi, defisiensi mineral, dan gangguan asam amino

  • Terapi perilaku
dikutip dari : http://www.klikdokter.com/illness/detail/47

Gejala Klinis dari ADHD

Gejala Klinis
Gejala yang timbul dapat bervariASI mulai dari yang ringan hingga yang berat, gejala ADHD sudah dapat dilihat sejak usia bayi, gejala yang harus dicermati adalah sensitive terhadap suara dan cahaya, menangis, suka menjerit dan sulit tidur. Waktu tidur yang kurang sehingga bayi seringkali terbangun. Sulit makan ASI dan minum ASI. Tidak senang digendong, suka membenturkan kepala dan sering marah berlebihan. Keluhan yang terlihat pada anak yang lebih besar adalah, tampak canggung, sering mengalami kecelakaan, perilaku berubah-ubah, gerakan konstan atau monoton, lebih ribut dibandingkan anak-anak lainnya, kurang konsentrASI, tidak bisa diam, mudah marah, nafsu makan buruk, koordinASI mata dan tangan tidak baik, suka menyakiti diri sendiri dan gangguan tidur.
Untuk mempermudah diagnosis pada ADHD harus memiliki tiga gejala utama yang nampak pada perilaku seorang anak yaitu:

  • Inatensi

Kurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian

  • Hiperaktif

Perilaku yang tidak bisa diam

  • Impulsive

Kesulitan untuk menunda respon (dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak sabar)

dikutip dari : http://www.klikdokter.com/illness/detail/47

Patogenesis ADHD

Patogenesis
Beberapa penelitian belum dapat menyimpulkan penyebab pasti dari ADHD. Seperti halnya dengan gangguan perkembangan lainnya (autisme), beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya ADHD adalah faktor genetik, perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, Tingkat kecerdasan (IQ), terjadi disfungsi metabolism, hormonal, lingkungan fisik dan sosial sekitar, asupan gizi, dan orang-orang dilingkungan sekitar termasuk keluarga.
Beberapa teori yang sering dikemukakan adalah hubungan antara neurotransmitter dopamine dan epinephrine. Teori faktor genetik, beberapa penelitian dilakukan bahwa pada keluarga penderita, selalu disertai dengan penyakit yang sama setidaknya satu orang dalam keluarga dekat. Orang tua dan saudara penderita ADHD memiliki resiko hingga 2- 8 x terdapat gangguan ADHD.
Terori lain menyebutkan adanya gangguan disfungsi sirkuit neuron di otak yang dipengaruhi oleh berbagai gangguan neurotransmitter sebagai pengatur gerakan dan control aktifitas diri.
Beberapa faktor resiko yang meningkatkan terjadinya ADHD.

  • Kurangnya Deteksi dini
  • Gangguan pada masa kehamilan (infeksi, genetic, keracuanan obat dan alkohol, rokok dan stress psikogenik)
  • Gangguan pada masa persalinan (premature, postmatur, hambatan persalinan, induksi, kelainan persalinan)


dikutip dari : http://www.klikdokter.com/illness/detail/47

Gejala Gejala ADHD

ADHD dapat ditengarai sejak anak berusia sangat kecil. Pada bayi, gejala yang nampak, adalah:

  • Terlalu banyak bergerak, sering menangis, dan pola tidurnya buruk
  • Sulit makan/minum
  • Selalu kehausan
  • Cepat marah/sering mengalami temper tantrum

Pada anak balita, gejala ADHD yang kerap terlihat, adalah:

  • Sulit berkonsentrasi/memiliki rentang konsentrasi yang sangat pendek
  • Sangat aktif dan selalu bergerak
  • Impulsif
  • Cenderung penakut
  • Memiliki daya ingat yang pendek
  • Terlihat tidak percaya diri
  • Memiliki masalah tidur dan sulit makan
  • Sangat cerdas, namun prestasi belajar tidak prima.

Tidak semua anak yang mengalami ADHD terlihat memiliki gejala ini, karena sangat tergantung pada tingkat ADHD yang diidap.

dikutip dari http://www.conectique.com/tips_solution/parenting/health/article.php?article_id=3093

d

Subtypes Of ADHD Part 2

Predominantly hyperactive-impulsive

Most symptoms (six or more) are in the hyperactivity-impulsivity categories.
  • Fewer than six symptoms of inattention are present, although inattention may still be present to some degree.

Predominantly hyperactive-impulsive type symptoms may include:[29]

  • Fidget and squirm in their seats
  • Talk nonstop
  • Dash around, touching or playing with anything and everything in sight
  • Have trouble sitting still during dinner, school, and story time
  • Be constantly in motion
  • Have difficulty doing quiet tasks or activities.

and also these manifestations primarily of impulsivity:[29]

  • Be very impatient
  • Blurt out inappropriate comments, show their emotions without restraint, and act without regard for consequences
  • Have difficulty waiting for things they want or waiting their turns in games

Subtypes Of ADHD Part 1

Predominantly inattentive

The majority of symptoms (six or more) are in the inattention category and fewer than six symptoms of hyperactivity-impulsivity are present, although hyperactivity-impulsivity may still be present to some degree. Current research is pointing to the possibility that the predominantly inattentive type is not a subtype of ADHD but may be a separate disorder.[28]
  • Children with this subtype are less likely to act out or have difficulties getting along with other children. They may sit quietly, but they are not paying attention to what they are doing. Therefore, the child may be overlooked, and parents and teachers may not notice symptoms of ADHD.

Predominantly inattentive type symptoms may include:[29]

  • Be easily distracted, miss details, forget things, and frequently switch from one activity to another
  • Have difficulty focusing on one thing
  • Become bored with a task after only a few minutes, unless they are doing something enjoyable
  • Have difficulty focusing attention on organizing and completing a task or learning something new
  • Have trouble completing or turning in homework assignments, often losing things (e.g., pencils, toys, assignments) needed to complete tasks or activities
  • Not seem to listen when spoken to
  • Daydream, become easily confused, and move slowly
  • Have difficulty processing information as quickly and accurately as others
  • Struggle to follow instructions.
dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Attention-deficit_hyperactivity_disorder

Symptoms Of ADHD

ADHD is a neurodevelopmental disorder in which certain traits lag in development. Inattention, hyperactivity, and impulsivity are the key behaviors of ADHD. The symptoms of ADHD are especially difficult to define because it is hard to draw the line at where normal levels of inattention, hyperactivity, and impulsivity end and clinically significant levels requiring intervention begin. ADHD may affect certain areas of the brain that allow problem solving, planning ahead, understanding others’ actions, and impulse control.Most people exhibit some of these behaviors, but not to the degree where such behaviors significantly interfere with a person's work, relationships, or studies. The core impairments are consistent even in different cultural contexts.

dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Attention-deficit_hyperactivity_disorder

Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD or AD/HD) is a neurodevelopmental disorder, primarily characterized by "the co-existence of attentional problems and hyperactivity, with each behavior occurring frequently together."

ADHD which is estimated to affect 3 to 5% of children, is the most commonly studied and diagnosed psychiatric disorder occurring in childhood and is diagnosed two to four times as frequently in boys as in girls,though this discrepancy may be due to subjective bias of referring teachers. It's considered to be a chronic condition with 30 to 60% of individuals diagnosed in childhood continuing to have symptoms into adulthood, affecting approximately 4.7 percent of American adults.

The symptoms of ADHD can be difficult to differentiate from other disorders, increasing the likelihood that the diagnosis of ADHD will be missed.Additionally, most clinicians have not received formal training in the assessment and treatment of ADHD, particularly in adult patients.

The management of ADHD usually involves some combination of medications, behavior modifications, lifestyle changes, and counseling. Adolescents and adults with ADHD tend to develop coping mechanisms to compensate for some or all of their impairments.

ADHD and its diagnosis and treatment have been considered controversial since the 1970s. The controversies have involved clinicians, teachers, policymakers, parents and the media. Opinions regarding ADHD range from not believing it exists at all to believing there are genetic and physiological bases for the condition as well as disagreement about the use of stimulant medications in treatment.Most healthcare providers accept that ADHD is a genuine disorder with debate in the scientific community centering mainly around how it is diagnosed and treated.The AMA Council on Scientific Affairs concluded in 1998 that "diagnostic criteria for ADHD are based on extensive empirical research and, if applied appropriately, lead to the diagnosis of a syndrome with high interrater reliability, good face validity, and high predictability of course and medication responsiveness.

dikiutb dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Attention-deficit_hyperactivity_disorder