Senin, 28 Februari 2011

KEPADATAN

PENGERTIAN KEPADATAN

definisi kepadatan beberapa ahli :
- Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Penelitian tentang kepadatan manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali, memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan, diantaranya :

1. ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2.peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.

3. terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokois dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor, yaitu:
a. seting fisik.
b. seting sosial.
c. personal.
d. Kemampuan beradaptasi.

KATAGORI KEPADATAN

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :

- kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap

- kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
- kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;
- kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975: Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;
(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan
(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.


sumber :
http://wendyzulkifly.blogspot.com
avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf
kuliahpsikologi.dekrizky.com

Pendekatan Psikologi Lingkungan

Psikologi Lingkungan dapat dikaji dengan teori baik dalam teori psikologi sendiri maupun cabang ilmu diluar psikologi. Contohnya saja seperti Contoh yang ada pada postingan sebelumnya tentang masyarakat nomaden dan masyarakat menetap. Hal tersebut melihat bahwa psikologi lingkungan juga memakai dasar teori dari ilmu Geografi. Adapun cabang ilmu psikologi itu sendiri, seperti teori Gestalt. Sekilas tentang Psikologi Gestalt, bahwa teori ini melihat objek-objek, manusia, dan seting-seting dipersepsi secara keseluruhan. Sedangkan sumbangannya terhadap Psikologi Lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan,misal untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan.

1. TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN

a. Arousal Theory (Teori Arousal)

Arousal memiliki arti harfiah yang berarti pembangkit. Pembangkit disini maknanya adalah gairah atau emosi individu untuk mengerjakan sesuatu. Misalnya saja saat kita kuliah pada mata pelajaran yang tidak menyenangkan, atau materi yang tidak kita suka. Maka secara otomatis kita akan mengantuk atau merasa lelah lebih cepat. Hal itu dapat diartikan bahwa kita tidak memiliki arousal untuk mata kuliah tersebut. Sedangkan kaitannya dengan Psikologi Lingkungan adalah, saat arousal seseorang itu rendah maka kinerja dari orang tersebut menurun, dan sebaliknya saat makin tinggi tingkat arousal seseorang maka semakin tinggi pula konerja nya.

b. Teori Beban Lingkungan

Asumsi dari teori ini adalah, bahwa manusia memiliki pemrosesan informasi yang terbatas. Menurut Cohen (Fisher, 1985; dalam Veitch & Arkkelin, 1995), asumsi tersebut adlaah: 1. Bahwa manusia memiliki kapasitas pemrosesan informasi yang terbatas. 2. Jumlah Atensi yang diberikan orang tidak konstan, namun lebih kepada kesesuaian dengan kebutuhan. 3. Ketika informasi yang masuk berlebih, maka perhatian tidak akan bekerja secara maksimal. 4. Stimulus yang masuk akan dipantau, jika stimulus tersebut memiliki makna dan diperhatikan maka aka nada pemrosesan lebih jauh, namun jika tidak akan langsung dibuang atau tidak ada pemrosesan lebih lanjut.

Lalu jika informasi yang masuk lebih besar dari kapasitas maka akan terjadi yang dinamakan dengan pemusatan perhatian, contohnya saja saat kita sedang menjalani ujian tengah semester, kita akan lebih focus mengerjakan soal ujian dan lebih cenderung mengabaikan keadaan sekitar sampai soal yang kita kerjakan selesai.

Namun jika sebaliknya, saat stimulus yang datang lebih kecil dari kapasitas dapat terjadi kebosanan pada diri individu. Karena kurangnya stimulus dalam lingkungan juga dapat dikaitkan dengan kemonoton-an informasi yang dating ke diri individu.

c. Teori Hambatan Perilaku

Asumsi dari teori ini adalah stimulasi yang berlebihan menyebabkan terjadinya penghambatan dalam memproses informasi. Sehingga berakibat hilangnya control dari individu terhadap situasi.

Menurut Brehm dan Brehm (dalam Veitch & Arkkelin, 1995), awal saat kita merasakan hilang kendali atau control terhadap lingkungan, maka mula-mula kita akan merasa tak nyaman dan berusaha untuk menekankan kembali fungsi kendali kita. Hal ini disebut dengan fenomena psychological reactance.

d. Teori Tingkat Adaptasi

Teori ini memiliki kemiripan dengan teori beban lingkungan, yang dimana stimulus yang tinggi maupun rendah memiliki dampak negative bagi perilaku individu. Namun nilai lain dari teori ini adalah pengenalan tingkat adaptasi pada individu, misalnya tingkat arousal atau adaptasi individu terbiasa dengan keadaan lingkungan atau tingkat pengharapan suatu lingkungan tertentu.

Menurut Wohwill (dalam Fisher, 1984) membagi 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan: 1. Intensitas, yang berhubungan dengan kesesakan atau justru kelenggangan yang dapat mempengaruhi psikologis individu. 2. Keanekaragaman, berkaitan dengan banyaknya informasi yang masuk atau justru sedkitnya informasi yang masuk dan tak sebanding dengan kapasitas pemrosesan informasi. Jika berlebih maka dapat terjadi yang dinamakan overload dan jika terlalu sedikit maka dapat terjadi kemonotonan. 3. Keterpolaan, berkaitan dengan keteraturan suatu pola sehingga dapat atau tidak dapatnya diprediksi oleh individu. Semakin teratur suatu pola semakin mudah dikenali oleh individu, dan begitupun sebaliknya.

e. Teori Stress Lingkungan

Teori in lebih menekankan pada peran fisiologi, kognisi maupun emosi dalam usaha manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Stress dapat terjadi saat respon stress atau beban melebihi kapasitas tingkat optimal. Hal yang dapat membuat individu menjadi stress disebut dengan stressor. Namun individu memiliki hal yang disebut dengan coping. Jika sumber-sumber coping tersebut habis maka dapat terjadi exhausted atau yang biasa kita sebut dengan kelelahan (Selye dalam Veitch & Arkkelin, 1995).


Sumber Referensi:

Selasa, 22 Februari 2011

Metode Penelitian dalam Psikologi Lingkungan

Metode Penelitian dalam Psikologi Lingkungan
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat 3 metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah : Eksperimen Laboratorium, Studi korelasi, dan Eksperimen Lapangan.

A. Eksperimen Laboratorium
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasanya diambil. Metode ini memberi kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasisecara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan subjek secara random dalam kondisi eksperimen. Maksudnya adalah bahwa setiap subjek memiliki kesempatan yang sama dalam setiap kondisi eksperimen. Bahkan dengan cara ini dijamin bahwa subjek penelitian dalam suatu kondisi tertentu memiliki peluang yang sama dengan subjek yang sama pada setiap kondisi eksperimen. Dengan cara ini variasi-variasi individu pada subjek penelitian dapat dijadikan alasan adanya perbedaan hasil penelitian, serta adanya kepercayaan yang lebih besar untuk menyimpulkan bahwa hasil penelitian adalah manipulasi-manipulasi dari variabel bebas.
Walaupun penelitian laboratorium meningkatkan kepercayaan bahwa hasil pengamatan adalah manipulasi dari variabel bebas, seorang peneliti masih memiliki hal yang besifat skeptis mengenai hubungan-hubungan dalam eksperimen tersebut. Eksperimenter tidak dapat memastikan bahwa hasil-hasil penelitian yang dihasilkan dalam situasi yang amat kompleks dapat diterapkan di luar laboratorium. Dengan kata lain hal ini berkaitan validitas internal dan validitas eksternal, dimana suatu peningkatan validitas internal cenderung akan mengurangi validitas eksternal. Lebih jauh kita akan melihat bahwa eksperimen laboratorium dirancang untuk mengukur hubungan diantara kepadatan dan perilaku interpersonal tidak selalu membuahkan hasil yang sama jika data dikumpulakan dengan metode yang berbeda (Veitch dan Arkkelin, 1995).

B. Studi Korelasi
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode studi korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.
Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun, maka penyimpulan dengan menggunakan studi korelasi dapat diperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat. Ketika korelasi digunakan, maka tidak ada penyimpulan yang dimungkinkan, karena hanya diketahui dari dua atau lebih variabel yang berhubungan satu sama lain. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat menentukan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan beragam indikator dari patologi sosial dengan menggunakan metode korelasi, tetapi ia tidak dapat memberi pernyataan bahwa kepadatan penduduk menyebabkan patologi sosial. Barangkali keduanya disebabkan oleh faktor lain yang ketiga seperti kurangnya pendidikan atau kemiskinan (Veitch dan Arkkelin, 1995).
Adalah hal yang tidak mungkin untuk menggambarkan kesimpulan yang jelas menjadi penyebab, karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal. Belum jelas apakah asosiasi yang terjadi dari pembatas-pembatas yang dibuat oleh peneliti sebelumnya. Untuk mudahnya maka dapat dibandingkan bahwa eksperimen laboratorium meminimalkan validitas internal untuk mengelakkan validitas eksternal, sedangkan studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tetapi seringkali validitas internalnya lemah.

C. Eksperimen Lapangan
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memanipulasi temperatu di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja dijatuhkan oleh eksperimenter.
Untuk mencapai pengertian ilmiah terhadap suatu fenomena, seorang ilmuwan seharusnya tidak hanya mengembangkan teori-teori dan mengamati dengan cermat hal-hal yang menjadi minatnya, akan tetapi ia juga harus menentukan metode terbaik, baik untuk menguji teori maupun tujuan pengamatan. Pada analisis akhir, seorang peneliti harus menentukan tujuan spesifik penelitian dan kemudian memilih metode yang palaing layak sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

D. Teknik-teknik Pengukuran
Agar suatu penelitian akan menjadi ilmiah diperlukan pengamatan-pengamatan yang menggunakan kriteria tertentu, yaitu :
· Berlaku umum dan dapat diulang-ulang
· Dapat dikembangkan menjadi skala pengukuran,
· Memiliki standar validitas dan reabilitas.
Berikut ini akan disajikan beberapa teknik pengukuran yang telah memenuhi beberapa kriteria berupa mudah dibuat, mudah dalam administrasinya, mudah skoringnya, dan mudah diinterpretasikan. Beberapa teknik tersebut antara lain adalah : Self report yang terdiri dari kuesioner, wawancara, dan skala penilaian (Veits dan Arkkelin, 1995).

1. Self Report
Metode yang paling sering digunakan dalam mengumpulkan data yang berkaitan dengan individu adalah self report. Dengan cara ini, seorang responden ditanya oleh peneliti hal-hal yang berkaitan dengan opini, kepercayaan, perilaku, sikap, dan perasaan. Prosedur self report terdiri dari beragam teknik yang meliputi : kuesioner, wawancara, dan skala penilaian.

2. Kuesioner
Kuesioner adalah pengembangan yang luas dari teknik paper and pencil self report. Butir (item) umumnya diformulasikan berupa pertanyaan dan dapat pula berupa jawaban faktual (seperti : usia, gender, tingkat penghasilan) sebagaimana halnya dengan respon-respon sikap (seperti emosi, nilai-nilai, dan kepercayaan). Kadang-kadang butir-butir yang ditanyakan merupakan pernyataan yang menunjukkan tingkat kesetujuan/ketidaksetujuan, dan kadang-kadang responden ditanyakan sesuatu untuk menyeleksi dan menentukan pada posisinya dari beberapa kata yang dideskripsikan peneliti.

3. Wawancara
Bentuk kedua dari self report adalah wawancara. Wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan. Dalam panfdangan ini, proses wawancara menjadi lebih dari skedar percakapan atau sebagaimana disarankan oleh Cannel dan Kahn (dalam Veitch dan Arkkelin, 1995) melibatkan paling tidak lima langkah yang berbeda : 1) menciptakan atau menyeleksi skedul wawancara dan seperangkat aturan main atau prosedur dalam menggunakan skedul tersebut; 2) memimpin jalannya wawancara; 3) merelkam respon-respon; 4) menciptakan kode angka; 5) mengkoding respon-respon wawancara.

4. Skala Penilaian
Bentuk terakhir dari self report yang digunakan para ahli psikologi lingkungan adalah skala penilaian. Skala ini memiliki beragam bentuk, termasuk di dalamnya adalah checklist, deskripsi verbal dua kutub, dan skala deskripsi nonverbal.

Ambient Condition

Ambient Condition adalah kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti; seound, cahaya, warna, kualitas udara, temperature dan kelembaban.

Kebisingan, Temperatur, dan Kualitas Udara. Menurut Ancok (1989), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Emosi yang semakin kurang dapat dikontrol akan mempengaruhi hubungan sosial di dalam maupun di luar rumah. Sementara itu, kebisingan menurut Rahardjani (1987) juga akan berakibat menurunnya kemampuan untuk mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak. Sedangkan menurut Ancok (1988) sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa.

Menurut Holahan (1982) hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebabreaksi fisiologis sistemik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Kebisingan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya aktivitas elektrodermal, sekresi adrenalin, dan tekanan darah. Pada suatu tingkat tertentu, reaksi-reaksi fisiologis ini cenderung meningkat ketika kebisingan menjadi semakin intens, periodik, dan tanpa kontrol. Ketika tingkat kebisingan tersebut sudah semakin menurun (mereda), seseorang boleh jadi menjadi teradaptasi dan terbiasa untuk melanjutkan kebisingan, walaupun tidak pada setiap orang.

Suhu dan Polusi Udara. Menurut Holahan (1982) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Beberapa studi korelasional di beberapa kota di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara musim panas dengan tingkat mortalitas. Bahkan pada tahun 1926 terjadi peningkatan angka mortalitas yang tajam sampai dengan 50 % di beberapa area (Schuman dalam Holahan, 1982). Studi lain menunjukkan adanya hubungan antara rneningkatnya tingkat polusi udara dengan munculnya penyakit-penyakit pemapasan seperti asma, infeksi
saluran pemapasan, dan flu di beberapa kota di Amerika Serikat.

Pada efek perilaku, riset laboratorium menunjukkan bahwa temperatur yang terlalu
tinggi temyata mempengaruhi perilaku sosial. Dua buah studi membuktikan bahwa seseorang
dalam keadaan temperatur tinggi (lebih dari 100 derajat F) temyata memiliki penilaian yang
tidak jelas pada kuesioner yang diberikan bila dibandingkan dengan yang dalam kondisi
nyaman.

Pencahayaan dan Warna. Menurut Fisher dkk. (1984) terdapat banyak efek pencahayaan
yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasamya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, dengan
cara mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika kita mengerjakan sesuatu. Pada
satu sisi, tidak adanya cahaya sama sekali akan membuat kita tidak mampu mengerjakan
suatu tugas karena kita tidak dapat membacanya.

Architectural Features


Arsitektur dan desain adalah bentuk seni. Kualitas estetis dari lingkungan yang dibentuk dapat sangat mempengaruhi seperti halnya keindahan alamiah. Masalahnya ialah pertimbangan estetika seringkali bekerja berlawanan dengan pertimbangan perilaku. Beberapa struktur bangunan yang terindah yang pemah diciptakan juga merupakan struktur yang paling tidak praktis. Namun, kualitas estetis tidak dapat disingkirkan begitu saja karena kurang relevan dengan pengaruh desain terhadap perilaku. Terdapat bukti bahwa estetika penting pula dalam penentuan perilaku.

Penelitian telah menganggap enteng konsekuensi perilaku yang berkaitan dengan kualitas estetikadari lingkungan. Penelitian tentang kesan tentang daerah urban mengemukakan bahwa kualitas estetika mempengaruhi kemampuan orang untuk menemukan jalan melintasi bentang kota (Lynch dalam Fisher dkk., l984). Adapula bukti yang mengemukakan bahwa kualitas estetika dapat mengurangi monotoni kota dan memelihara tingkat stimulasi yang memadai.

Estetika memegang peran penting dalam evaluasi orang terhadap lingkungan, misalnya estetika mempengaruhi pemilihan tempat tinggal seseorang (Michelson dalam Fisher dkk. , 1984). Hal ini terutama benar pada orang yang pindah dari kota ke pinggiran kota.


Sumber :

http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:nQPmNszJ_CcJ:elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab3-ambient_condititon_dan_architectural_features.pdf+Ambient+condition&hl=id&gl=id

Senin, 21 Februari 2011

PSIKOLOGI LINGKUNGAN

PENGANTAR

A. Latar belakang Sejarah Psikologi Lingkungan

Diperkenalkannya Field Theory oleh Kurt lewin yang menjadi salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia .

Terdapat istilah lain yang mendahului istilah Psikologi Lingkungan antara lain Ekologi Psikologi yang berkembang tahun 1943 oleh Lewin. Pada tahun 1947, Rober Barker Dan Herbet Wright memperkenalkan seting perilaku (Behavior setting) suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah Psikologi Arsitektur (Architectural psychology) pertama kali diperkenalkan ketika konferensi pertama di Utah pada tahun 1961 dan tahun 1966. Jurnal yang diterbitkan pada tahun 1960an pun banyak yang menggunakan istilah psikologi Lingkungan dan perilaku (Environmental and behavior). Baru pada tahun 1968, Harold Proshanky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doctoral di bidang Psikologi Lingkungan (Environmental Psychology) di CNUY (City Univercity of NewYork).


B. Definisi Psikologi lingkungan

adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam.
Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaan dan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia.
Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan.

Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh psikologis historis suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.

Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.
Sebagai contoh, tengok saja yang terjadi di zaman sekarang. Kini, banyak orang yang tinggal di dalam lingkungan baik dan religius, namun perilakunya sangat tidak mencerminkan lingkungan tempat dia tinggal. Meskipun orang tersebut sangat kenal dengan moral yang baik, belum tentu orang tersebut akan berlaku baik. Karena ternyata lingkungan sosial di zaman sekarang tidak bisa membentuk pribadi seseorang.

Seseorang bisa saja tinggal dalam lingkungan pesantren yang selalu diajarkan akidah dan akhlak yang baik. Namun, sifat dasar manusia selalu penasaran dan ingin mencari kebenaran sendiri dengan mencari perbandingan sendiri.


C. RUANG LINGKUP PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Proshanky (1947) melihat bahwa psikologi lingkungan memberi perhatian terhadap manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman-pengalaman manusia dalam hubungannya dengan setting fisik. Lingkungan fisik tidak hanya berarti rangsangan-rangsangan fisik saja terhadap objek-objek fisik saja, tetapi lebih dari itu kompleksitas yang terdiri dari beberapa setting fisik dimana seseorang tinggal, berinteraksi dan beraktifitas.

Ruang lingkup psikologi lingkungan lebih jauh membahas :
rancangan (desain), organisasi dan pemaknaan, ataupun hal-hal yang lebih spefisik seperti ruang-ruang, bangunan-bangunan, ketetanggan, rumah sakit dan ruang-ruangnya, perumahan, apartemen, museum, sekolah, serta setting lainnya pada lingkup bervariasi.

Sosiologi memiliki kedekatan dengan psikologi lingkungan, perbedannya terletak pada unit analisisnya. Jika pada sosiologi unit analisnya adalah unit-unit pada masyarakat seperti penduduk kota, pemetintah, dan sebagainya, sedangkan psikologi lingkungan unit analisisnya adalah manusia dan kumpulan manusia sebagai individu. Jenis-jenis lingkungan dalam sosiologi lingkungan yang beberapa diantaranya juga digunakan dalam psikologi lingkungan adalah (Sarwono,1992) :
1. Lingkungan alamiah seperti padang pasir, pegunungan, dan lain-lain
2. Lingkungan buatan atau binaan seperti taman kota, jalan raya, jalan tol, gedung pencakar langit, dan sebagainya
3. Lingkungan social
4. Lingkungan yang dimodifikasi

Sementara itu, Veitch dan Arkkelin (1995) mengatakan bahwa psikologi lingkungan adalah suatu area dari pencarian yang bercabang dari cabang disiplin ilmu lain seperti biologi, kimia, fisika, psikologi, geografi, ekonomi, sosiologi, sejarah, filsafat, beserta sub disiplin ilmu dan rekayasanya. Oleh karena itu, berdasarkan ruang lingkupnya, maka psikologi lingkungan ternyata selain membahas setting-setting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya, juga melibatkan disiplin ilmu yang beragam.


D. Ambient Condition dan Architectural Features

Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik wrighstman dan deaux (1981) membedakan dua bentuk kualitas lingkungan yang meliputi:
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, Cahaya atau penerangan, Warna, Kualitas udara, Temoeratur, Dan kelembapan.

2. Architectural Features
Yang tercakup didalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanen. Misalnya di dalam suatu ruangan, Yang termasuk di dalamnya antara lain kofigurasi dinding, Lantai, Atap, Serta pengaturan perabot dan dekorasi.



SUMBER :
http://raraajah.wordpress.com/2011/02/15/pengantar-pendekatan-teori-dan-metode-psikologi-lingkungan/
http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/pengantar-psikologi-lingkungan/
http://ochapsikologikelompok.blogspot.com/

Kamis, 03 Februari 2011

story #1

"kamu sering ga ngerasa iri sama temen kamu yang mungkin, ehem 'lebih' dari kamu?"

"ha? apa?" dony seakan heran ketika bita mendadak bertanya ditengah tidurnya.

"iya, kamu pernah ga ngerasa iri sama orang lain?" bita menegaskan.

dengan wajah penuh senyum kesabaran, dony menjawab perlahan, "emangnya kenapa sayang? iya aku pernah kok. sering malah. kamu kenapa ga tidur? kamu kan lagi sakit. ga usah banyak pikiran dulu ya.."

"ga salah kan ya kalo aku iri sama orang lain? aku capek klo mesti sakit sakitan terus kya gini. aku ngiri sama temen temen aku. mereka bisa main sepuasnya. mereka bisa nyenengin orang tuanya. mereka bisa jalan jalan sama pacarnya. ga kya aku ya..."

kalimatnya terhenti ketika dony mendadak mencium bita tepat di bibirnya. bita pun mulai meneteskan air mata.

"cep cep, pacar aku ga boleh nangis dong" dony berusaha menenangkan kekasihnya.

seraya menghapus air mata bita, dony berkata, "kamu boleh iri sama orang lain. tapi kamu harus inget sayang, rasa iri itu ga boleh dijadiin beban pikiran kamu. kamu harus jadiin rasa iri itu sebagai semangat kamu"

"semangat? maksud kamu gimana?"

"iya semangat. kamu mau kan bisa jadi kya mereka? kamu mau kan bisa ngebahagiain orang orang sekitar kamu? coba jadiin itu sebagai motivasi kamu. kamu ngerti kan maksud aku?"

"ia, aku ngerti sedikit"

"coba sekarang, tanam dalam pikiran kamu, 'aku mau sehat seperti orang orang yang lain'. aku yakin kamu pelanpelan pasti sehat. terus bisa ngebahagiain orang lain. kamu percaya sama aku kan?"

"haaaaah iya aku percaya sama kamu yang. kamu janji ya selalu ada disamping aku. walaupun aku kya gini?"

"iya aku janji. dah sekarang kamu tidur yaa"

bita pun tersenyum puas ketika ia menerima kecupan hangat di keningnya. dalam hati tak hentinya ia bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan kekasihyang begitu sempurna. yaa itu dony.

twitter

tau dongg twitter tuh apa? ya masa ga tau... *gilingan* hehehe

menurut wikipedia, twitter itu "sebuah situs web, dimiliki dan dioperasikan oleh Twitter Inc, yang menawarkan jaringan sosial dan microblogging layanan, memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan yang disebut tweets. Tweets are text-based posts of up to 140 characters displayed on the user's profile page. Tweets adalah berbasis teks tulisan hingga 140 karakter ditampilkan pada pengguna profil halaman." (maaf itu copy paste)

hmmm gw udah punya twitter sudah sejak berabad abad yang lalu. hahahaah nggak deng, akun twitter gw dibuat itu tanggal 17 maret tahun 2010. tepat sehari dimana semestinya gw uda dua taunan sama *****. (curcol)

tadinya gw sempet males main twitter. tapi ya berhubung waktu zaman itu gw lagi penggalau sejati, jadi gw bikinlah akun gw. @trianiajeng

di twitter gw sering nyampah sih kebanyakan.hehehe kadang gw suka bergalau ria, suka curcol tiba tiba, suka flirting sama cowok klo ada yang ganteng, dsb dll dst.

dan kenapa tiba tiba gw pengen nulis tentang twitter? karena baru akhir akhir ini gw menyadari *duileh*, klo orang orang yang ada di timeline itu uda kya sodara gw semua. (apa sih jeng timeline? / BUKA GOOGLE GIH !)

kenapa gw bilang sodara? hmmm mereka welcome banget sama apa yang gw tulis. sampe gw nyampah di timeline pun mereka dengan senang hati meretweet dan mereplay tweet gw itu. hmm terus nih ya, orang orang yang ga follow gw aja masih mau bales mention gw.

twitter itu tempatnya orang orang yang royal akan kata kata. yang ga pelit informasi. tempat orang orang yang senang bebagi tulisan. jadi buat apa punya twitter tapi lo privat. mending balik aja ke facebook (via : @LadyZwolf)