Sabtu, 29 Mei 2010

Pengalaman menyekolahkan anak ‘special need’ 7

kisah ini diambil dari http://puterakembara.org/rm/Sharing.shtml
sebuah kisah dari seorang ibu (Ibu Wiwie) yg mempunyai anak dengan kebutuhan khusus.

inilah kisahnya lanjutannya.

Kesediaan sekolah SS untuk menerima dan membantu Thomas sangat besar, tetapi ‘skill’ mereka untuk mengatasi special need masih terbatas, bahkan Thomas murid spesial satu-satunya. Masalah tersebut terlihat saat konsultan ABA bisa menjalin kerjasama dengan sekolah. Aktivitas Thomas di kelas direkam selama 1 minggu dengan camcorder, dan dianalisa. Walaupun jauh lebih baik dibanding di sekolah lama, ternyata masih banyak perilaku Thomas yang ‘inappropriate’, tidur-tiduran di lantai sementara teman-temannya bernyanyi, pipis/pup di kelas, tertawa sendiri, sering bengong, dll. Interaksi dengan guru maupun teman juga sangat minim. Sebenarnya, kalau tidak ada intervensi pihak ke –3, saya sudah jauh lebih puas melihat kemajuan Thomas sejak sekolah di SS. Yang paling terlihat, dia sangat suka sekolah barunya, dan saya percaya kalau anak-anak belajar dengan senang, pasti banyak yang dia bisa pelajari.

Untungnya, guru-guru di SS sangat rendah hati sekaligus semangat tinggi untuk membantu Thomas: saran untuk ada Shadow Aid di kelas diterima. Berdasarkan hasil observasi dan pertemuan rutin dengan guru-guru, di rumah dibuatkan program-program sekolah (school program) yang didesain khusus untuk mendukung perkembangan di kelas. Salah satunya pernah diterapkan 5-10 menit pelajaran tambahan sebelum masuk kelas, khusus untuk pelajaran baru yang Thomas belum tahu, supaya dia confidence di kelas. Tapi setelah ‘social influence’ mulai kuat (hal yang sangat menggembirakan, karena berarti Thomas mulai ‘keluar’ dari dunia autisnya), program ini distop karena Thomas tidak ‘nyaman’ lagi berada sendiri di kelas, sementara teman-temannya masih main di luar. Yang terjadi dia ajak temannya masuk ke kelas, atau dia nyusul main ke playground.

Sebisa mungkin pelajaran baru yang akan diberikan, diinformasikan dulu oleh guru, untuk kami ajarkan dulu di rumah. Kalaupun ada yang terlewat, pelajaran-pelajaran itu diulang lagi di rumah sampai Thomas bisa, tetap dengan suasana seperti di kelas. Ruang keluarga di lantai atas bahkan diatur mirip dengan suasana kelasnya, kadang-kadang kami undang teman sekelasnya untuk main ‘sekolah-sekolahan’ di rumah. Secara periodik ada observasi di sekolah, pertemuan dengan guru dan konsultan (PTCC), dan playday baik dengan teman sekelas maupun dengan gurunya.

Program-program terapi ABA dirancang ulang dengan prioritas mengatasi kelemahan utama Thomas, misalnya Attending Skill dan Social Skill, untuk meningkatkan interaksi dengan teman-teman dan gurunya di sekolah. Kalau sebelumnya dia selalu minta bantuan shadow aid-nya, pelan-pelan diarahkan untuk minta bantuan guru. Setelah beberapa lama mulai biasa berinteraksi dengan guru, secara bertahap mulai dipindahkan ke teman sekelas. Jadi kalau ada yang tidak jelas, atau dia ketinggalan ‘berita’ dari guru, Thomas diarahkan untuk bertanya pada teman terdekatnya.

Entah karena memang kurang suka nyanyi atau ada hubungannya dengan masalah sensory, Thomas sulit sekali mengikuti aktivitas nyanyi bersama di kelas, walau bisa bernyanyi sendiri dengan cukup keras dan bagus untuk beberapa lagu yang dia suka. Sampai sekarang ‘nyanyi bersama’ masih menjadi salah satu program terapi di rumah, kadang-kadang dengan mengundang teman sekelas atau salah satu gurunya. Pada acara performance akhir cawu I, sementara teman-temannya bernyanyi bersama, Thomas masih asyik sendiri, kadang keluar dari kelompoknya. Pada acara Idul Fitri & Natal bersama, karena masih sulit dengan aktivitas kelompok, Thomas diminta membaca puisi ‘Christmas Day’ sendirian, cukup berhasil dengan latihan intensif selama 2 minggu. Dan di akhir cawu III, Thomas sudah bisa ikut acara gerak & lagu (Makarena) dalam kelompok. Dia selalu berusaha mengikuti gerakan teman-temannya, walau kadang-kadang masih ketinggalan dan sedikit dibantu shadow aid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar