Sabtu, 29 Mei 2010

Pengalaman menyekolahkan anak ‘special need’ 4

kisah ini diambil dari http://puterakembara.org/rm/Sharing.shtml
sebuah kisah dari seorang ibu (Ibu Wiwie) yg mempunyai anak dengan kebutuhan khusus.

inilah kisahnya lanjutannya.

Kami ceritakan kondisi Thomas apa adanya, dan bahwa sebenarnya masih membutuhkan banyak terapi, jadi minta diijinkan hanya bersekolah 2-3 hari dalam seminggu, sambil melihat perkembangannya. Dengan pendekatan yang baik, saya juga diijinkan untuk secara periodik merekam perkembangan Thomas di sekolah. Kepala sekolah juga sangat baik, cukup mau tahu tentang autis dengan membaca buku-buku atau makalah seminar yang saya fotocopy. Kadang mereka malah mereferensikan beberapa orang tua yang anaknya mengalami gangguan perkembangan untuk sekedar ngobrol dengan saya. Tetapi mungkin karena sibuk dengan pekerjaan, agak sulit untuk mengajak guru-guru ikut seminar/workshop tentang autis, atau untuk mengundang mereka ke rumah, walaupun mereka tertarik.

Seminggu sebelum sekolah mulai, saya drill Thomas soal makanan (karena diet Gluten dan Casein, CFGF). Dengan bantuan kakaknya, saya ajarkan untuk tidak ambil atau minta makanan orang lain. Hari pertama sekolah dia bilang ‘mau kue itu’ sambil menunjuk temannya yang bawa bekal biskuit Oreo (Oreo dulu jadi reward yang paling disukai kalau terapi). Saya jawab : ‘itu bukan punya Thomas’, dia menurut dan diam. Besoknya dia hanya melihat-lihat bekal teman-temannya sambil menelan ludah, tanpa mengucapkan apa-apa. Duh, rasanya saya yang tidak tahan….sangat tidak tega. Dengan mengingat bahwa terigu hanya akan menjadi racun/morfin buat Thomas, saya mencoba bertahan. Akhirnya sukses setelah 1 minggu, sampai sekarang dia tahu bahwa makanan tertentu dia tidak boleh makan, jadi bila ingin sesuatu dia akan tanya :’Thomas mau ini, boleh nggak?’. Di sekolah sekarang, bahkan teman-temannya yang suka dengan makanan ‘home-made’ Thomas. Kembang goyang kesukaannya, juga menjadi makanan favorit teman-teman dan guru-guru.

Setelah 2 bulan sekolah, Thomas bisa ikut ‘antri’ dengan rapi, bahkan di gereja pernah mengikuti antrian untuk menerima berkat dari pastor, dan dia tetap rapi dalam barisan sampai kembali ke tempat semula tanpa didampingi. Kemajuan yang sangat membuat kami bahagia, kalau bukan di gereja rasanya saya mau bersorak atau menangis.

Tetapi setelah itu kami jarang melihat kemajuan berarti yang lain, bahkan ilmu ‘antri’nya ikut hilang. Di kelas lebih banyak rewel dan menangis, kelihatan tersiksa terlalu lama di sekolah. Saat guru bercerita di depan dan anak-anak duduk mengelilingi guru, Tom terlihat sangat tidak betah, seringkali rewel minta keluar atau pulang. Tiap pagi sebelum masuk kelas semua murid playgroup – TK berkumpul di aula untuk melakukan beberapa aktivitas bersama (nyanyi, mendengarkan cerita, senam, dll), baru berbaris masuk ke kelasnya di lantai 2. Saat-saat itu menjadi kegiatan yang paling tidak menyenangkan buatnya, hampir tidak ada aktivitas yang dia bisa ikuti atau nikmati. Kalau sudah tidak tahan, dia rewel minta pulang, nangis atau teriak.

Saat ini kami baru tahu, dulu banyak sekali persiapan yang kurang saat memasukkan Thomas sekolah playgroup di Jakarta Timur. Pertama, walau secara akademis diatas rata-rata teman sebaya, Thomas belum dipersiapkan dengan kemampuan mengikuti aktivitas rutin sekolah maupun (transisi) belajar dalam group. Kemampuan bantu dirinya juga masih kurang, sehingga sering ngompol atau pup di kelas. Dengan keterbatasan pengetahuan kami waktu itu, tanpa sadar prioritas terapi lebih mengejar kemampuan akademis. Kedua, ekspektasi kami sebagai orang tua tidak jelas, saya hanya coba-coba dan berharap sekolah bisa membantu banyak. Ketiga, sekolah itu sebenarnya memang kurang tepat untuk kondisi Thomas : kelas terlalu besar (2 guru 35 murid) seringkali suara guru bahkan tidak terdengar oleh Thomas, ruang kelas yang terbuka dengan banyak suara-suara dari luar menjadi gangguan besar buatnya, mainan yang sama tiap hari (dalam kotak besar) juga tidak cukup kuat menarik minat dan perhatiannya, serta keterbatasan tenaga guru untuk memberi perhatian ekstra buat Thomas. Keempat, tidak ada pihak ke-3 atau profesional yang membantu menjembatani kami dan pihak sekolah. Kelima, pertimbangan keuangan (saya sudah memutuskan berhenti kerja) juga membuat kami berpikir dua kali untuk menyediakan dana lebih untuk Thomas.

Jadi dengan keterbatasan pengetahuan, terapis yang jadi shadow aid dan berada tiap hari di kelaspun, tidak tahu persis apa tugas dan tanggung jawabnya, bagaimana cara bekerja sama yang efektif dengan guru-guru, dsb. Di daerah tempat tinggal saat itu juga tidak ada teman ‘seperjuangan’ yang bisa jadi tempat bertanya, dan tidak ada bantuan dari pusat terapi tentang bagaimana cara mempersiapkan dan mengatasi masalah di sekolah. ont Definitions */ @font-face {font-family:Verdana; panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1593833729 1073750107 16 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText {mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0in; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0in; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar